Jumat, 18 Desember 2009

Soe Hok Gie

Sudah Terjual
TERJUAL

454 Halaman
Penerbit : LP3ES 1983
Kondisi : Buku bekas, cukup
Sudah Terjual


Biografi Soe Hok Gie ( 1942-1969)

Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production telah meluncurkan film berjudul “Gie” yang diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Dikutip dari : http://acan-on-skyes.blogspot.com/2009/09/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html

Sabtu, 12 Desember 2009

Pengakuan Pariyem

Sudah Terjual

Pengakuan Pariyem
Penulis : Linus Suryadi Ag
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan 1994
Ukuran : 10,5x18,5 cm
Tebal : 256 halaman
Kondisi : Buku bekas, baik
Harga : Rp 20.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Ronggeng Dukuh Paruk

Sudah Terjual

Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Jakarta, PT
Tgl Terbit : 1995
Halaman : 174 hal
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi (LxP) : 11 x 18 cm
Bahasa : Bahasa Indonesia
Kondisi Buku : Buku Bekas (Cukup)
Harga : Rp 20.000,-

Sudah Terjual


SINOPSIS : Di tangan Ahmad Tohari kehidupan desa adalah sebuah sungai yang tenang. Dalam arus yang diam itu justru tersimpan misteri dan teka- teki yang tak tampak dari permukaan: palung, bongkahan batu bahkan mungkin buaya air tawar yang ganas. Hampir semua cerita Tohari berlatar kehidupan desa yang seperti ini. Desa adalah sebuah lanskap yang kompleks dan ruwet sekaligus.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan puncak pencapaian sastra Tohari sejauh ini. Bercerita tentang Srintil dan Rasus, Ronggeng memotret sebuah masa ketika Indonesia memasuki zaman gelap politik 1965. Ini novel yang lengkap: konflik kejiwaan para tokoh yang beragam, huru-hara politik, hilangnya sebuah tradisi, terdesaknya kehidupan desa.

Novel pertama bercerita tentang kemunculan tokoh Srintil sebagai ronggeng yang sudah lama hilang dari Dukuh Paruk. Pedukuhan yang sepi itu pun kembali bergairah. Seorang ronggeng sudah lahir, karena memang ia tak bisa diciptakan. Srintil menjadi primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan tradisi.

Karena disuguhkan dengan gaya dongeng, Tohari pun tak segan menyelipkan romantika Cinderella. Misalnya, ketika Srintil gundah akan menempuh upacara penyerahan keperawanan kepada seseorang yang memberi harga paling tinggi. Ia pun “selamat” karena liang daranya diserahkan kepada Rasus yang dicintai dan mencintainya. Setelah itu adalah hidup Srintil sebagai ronggeng dan pencarian Rasus menemukan ibu yang tak pernah dikenalnya.

Jilid kedua memasuki masa politik ketika seseorang bernama Bakar muncul di Dukuh Paruk. Tohari mencitrakan orang komunis ini dengan sangat tipikal: tak ada gairah syahwat, dingin, dan kepalanya dipenuhi oleh teori juga semangat merebut kembali hak-hak rakyat, sesuatu yang agak berbeda dibanding, misalnya, dalam tokoh-tokoh Sri Sumarah, Para Priyayi atau Bawuk dari Umar Kayam.

Bakar melarang tayub karena itu joged borjuis yang melemahkan revolusi. Kesenian ronggeng pun kehilangan ciri utamanya ketika disuguhkan hanya untuk memeriahkan rapat dan kampanyekampanye partai. Orang Dukuh Paruk pun bimbang seraya diamdiam menaruh harapan pada janji- janji yang digelorakan Bakar tentang “sama rata sama rasa.”

Keadaan berbalik. PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek-antek komunis. Lintang kemukus berpijar di angkasa menandakan sebuah malapetaka. Mereka diburu dan ditahan tanpa pengadilan atau dibantai. Tak terkecuali Srintil. Ia diborgol dan dimasukkan ke sel yang asing. Nasibnya berakhir tragis di rumah sakit jiwa. Rasus, sementara itu, bimbang karena ia kini datang ke kampungnya untuk menangkap saudara dan teman-temannya. Sebagai tentara ia harus menjalankan perintah. Tetapi cintanya kepada Srintil mengalahkan itu semua. Ia datang menolong dan mengeluarkan Srintil dari rumah sakit.

Ada ambiguitas Tohari yang sangat kentara. Ia ingin meluruskan sejarah bahwa benar telah terjadi pembantaian orang yang dicap PKI, sekaligus ia juga mengutuk PKI yang telah merampas kesenian masyarakat. Sebab, setelah 1965, seni tayub punah di seluruh Jawa.

Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir di seluruh Jawa dan Betawi dengan bentuk dan nama yang berlainan. Dalam Sejarah Jawa yang terkenal, Stamford Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis bahwa ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Kesenian ini digelar untuk mensyukuri panen yang melimpah.

Fakta dan fiksi dalam cerita Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa tayub dimanfaatkan Lekra merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi bahan penelitian para ahli. Tohari menyusupkan pengalaman batinnya sendiri ke dalam cerita itu. Hasilnya adalah sebuah novel yang kaya.

BAGJA HIDAYAT

Dari : ruangbaca.com

Jumat, 11 Desember 2009

Suluk Pesisiran

SOLD

Dipuitisasikan oleh : Emha Ainun Nadjib
Tebal : 100 halaman
Penerbit : Mizan 1993
Hsarga : Rp 10.000,- belum termasuk ongkos kirim
SOLD

Love Poem

Sudah Terjual

Kumpulan puisi
Penyadur : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Indonesia Tera
Kondisi : Istimewa, seperti baru
Harga : Rp 20.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Deru Campur Debu


Pengarang : Chairil anwar
Penerbit : Dian Rakyat Jakarta 1993
Buku bekas baik
Harga Rp 15.000,-

Senyum Karyamin


Kondisi : Buku bekas, baik
Harga : Rp 15.000,-

Jentera Bianglala

Sudah Terjual

Kondisi : Buku bekas, baik
Harga : 15.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Bekisar Merah

Sudah Terjual

Kondisi : Buku bekas, baik
Harga : Rp 17.500,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Lintang Kemukus Dini Hari

Sudah Terjual

Kondisi : Buku bekas, baik
Harga : Rp 15.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Kubah


Kondisi : buku bekas, baik
Harga : Rp 25.000,- belum termasuk ongkos kirim

Kamis, 10 Desember 2009

Segelas Beras Untuk Berdua


14x21
188 Halaman
Sindhunata
Penerbit Buku Kompas,November 2006
Kondisi : Istimewa seperti baru
Harga : Rp 40.000,- belum termasuk ongkos kirim

Burung-burung di Bundaran HI


21x14
158
Sindhunata
Kompas, November 2006
Kondisi : baik sekali, seperti baru
Harga : Rp 30.000,- belum termasuk ongkos kirim

Tuhan dan Hal-hal Yang Tak Selesai


Ukuran :13x19,3
Tebal : 166 halaman
Pengarang : Goenawan Mohamad
Penerbit : Kata Kita
Harga : Rp 30.000,- belum termasuk ongkos kirim
Kondisi : baik sekali, seperti baru
Sudah Terjual

Ada Berita Apa Hari Ini Den Sastro ?

Sudah Terjual

Penulis: Sapardi Djoko Damono
Ukuran: 14 x 21 cm
Tebal: vii + 75 hlm
ISBN: 979-9375-36-3
Harga: Rp 15.000,- belum termasuk ongkos kirim
Kondisi buku bekas, baik

Sinopsis : Kumpulan sajak yang memuat dua belas sajak ini, berbeda dengan kumpulan sajak Sapardi Djoko Damono sebelumnya. Sajak-sajak dalam buku ini lebih panjang atau berfragmen bagai membaca sebuah cerita pendek yang disampaikan dengan bahasa puitis dan liris. Selain itu, sajak-sajak ini juga kental dengan perenungan mendalam sehingga tampak menonjol nilai-nilai filosofisnya. Kumpulan sajak ini dinyatakan oleh Sapardi Djoko Damono sebagai kumpulan sajaknya yang terakhir. (Tapi selanjutnya, 2009 Sapardi menerbitkan : kumpulan puisi Kolam, penerbit Editum)

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir 20 Maret 1940 di Surakarta) adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah “Horison”, “Basis”, dan “Kalam”.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986 SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Karya-karya
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Sampai sekarang telah ada delapan kumpulan puisinya yang diterbitkan. Ia tidak saja menulis puisi, tetapi juga menerjemahkan berbagai karya asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Kumpulan Puisi/Prosa
“Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)
“Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
“Mata Pisau” (1974)
“Sepilihan Sajak George Seferis” (1975; terjemahan karya George Seferis)
“Puisi Klasik Cina” (1976; terjemahan)
“Lirik Klasik Parsi” (1977; terjemahan)
“Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)
“Perahu Kertas” (1983)
“Sihir Hujan” (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
“Water Color Poems” (1986; translated by J.H. McGlynn)
“Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988; translated by J.H. McGlynn)
“Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
“Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia” (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
“Hujan Bulan Juni” (1994)
“Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)
“Arloji” (1998)
“Ayat-ayat Api” (2000)
“Pengarang Telah Mati” (2001; kumpulan cerpen)
“Mata Jendela” (2002)
“Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)
“Membunuh Orang Gila” (2003; kumpulan cerpen)
“Nona Koelit Koetjing :Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
“Mantra Orang Jawa” (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi karya SDD sebetulnya bukan karyanya sendiri, tetapi ia terlibat di dalamnya.
Album “Hujan Bulan Juni” (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu.
Album “Hujan Dalam Komposisi” (1996) dari duet Reda dan Ari.
Album “Gadis Kecil” dari duet Dua Ibu
Album “Becoming Dew” (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu
satu lagu dari “Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti”, berjudul Aku Ingin, diambil dari sajaknya dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata “Ars Amatoria” yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD.
Buku
“Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
“Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”
“Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
Pustaka Firdaus
“Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.
“Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).
“Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).
“Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).
“Babad Tanah Jawi” (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
Sudah Terjual

Saya Musuh Politik Soeharto


Ukuran : 14,7 x 21 cm
Tebal : 310 halaman
Pengarang : Sri Bintang Pamungkas
Penerbit : Pijar Indonesia
Kondisi : buku bekas, baik
Harga : Rp 40.000,- belum termasuk ongkos kirim

Belantik - Bekisar Merah II

Sudah Terjual

Belantik - Bekisar Merah II
Ukuran : 21x15 cm
Tebal : 144 halaman
Pengarang : Achmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Harga : Rp 15.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual

Petruk Jadi Guru


21x14 cm
200 halaman
Penerbit : Kompas
Pengarang : Sindhunata
Harga : Rp 35.000,- belum termasuk ongkos kirim

Dari Pulau Buru ke Venesia


14x21 cm
200 halaman
Sindhunata
Penerbit : Kompas
Harga : Rp 35.000,- belum termasuk ongkos kirim

Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia


Buku baru
Ukuran : 13x20
Harga : Rp 35.000,- belum termasuk ongkos kirim

Mangir


Kondisi : Seperti baru
Ukuran : 21x14
Tebal : 114 halaman
Harga : Rp 20.000,- belum termasuk ongkos kirim

Bukan Pasar Malam


Buku baru
Harga : Rp 25.000,- belum termasuk ongkos kirim
ukuran : 13x20

Sinopsis : Roman ini berlangsung dalam satu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang pulang kampung karena ayahandanya jatuh sakit. Dari seputar perjalanan itu, terungkap beberapa potong puing gejolak hati yang tak pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi.

Gadis Pantai

Sudah Terjual

Ukuran : 13x20 cm
Tebal : 272 halaman
Kondisi : Seperti baru
Harga : Rp 35.000,- belum termasuk ongkos kirim
Sudah Terjual